Download Ebook Gratis Laporan Syamina: Beban Pajak, Sebuah Prakondisi Jihad Diponegoro
De Java Oorlog atau yang dikenal dengan sebutan Perang Jawa ialah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal De Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Diponegoro.
Peristiwa itu ialah garis batas dalam sejarah Jawa dan sejarah Indonesia pada umumnya antara tatanan usang Jawa dan zaman modern. Saat itulah terjadi peralihan dari hegemoni longgar Belanda pada zaman penjajahan yang sebenarnya, yang di Jawa bermula dengan ditaklukkannya Diponegoro pada tahun 1830.
Itulah pertama kalinya bagi pemerintah kolonial Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak kawasan lain di sepanjang pantai utara Jawa terkena efek pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari seluruh penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang.
Demi memastikan kemenangan atas orang Jawa, alasannya ialah banyak korban yang jatuh, Belanda harus membayar dengan sangat mahal: sebanyak 7.000 serdadu pribuminya dan 8.000 tentara orisinil Belanda tewas; dan biaya perang yang harus mereka keluarkan mencapai sekitar 25 juta gulden (setara dengan 2,2 miliar dolar AS ketika ini).
Pergolakan politik di Belanda dan di tanah jajahannya di Hindia Belanda (Indonesia) telah menguras begitu banyak sumber daya, tenaga, waktu dan biaya yang sangat besar. VOC yang gulung tikar alasannya ialah korupsi lalu dibubarkan dan diganti pemerintahan Hindia Belanda. Di negeri Belanda sendiri terjadi perang Napoleon yang menguras kas negara penjajah tersebut untuk biaya perang.
Belum lagi perang di Jawa dan sekitarnya yang lalu dimenangkan pasukan Inggris yang berakibat penyerahan tanah jajahan (termasuk Jawa) pada Inggris walaupun lalu terpaksa dikembalikan lagi ke Belanda sehabis pihak Inggris dan sekutunya kalah perang di Eropa.
Untuk menutupi semua pengeluaran dan utang yang besar untuk biaya perang, kesannya pemerintah penjajah Eropa berpaling ke Jawa sebagai pulau yang paling subur untuk menghasilkan banyak uang. Cara yang ditempuh lewat kebijakan pertanian dan perkebunan, dengan cara menanam flora yang berharga tinggi di pasaran ekspor Eropa. Di samping itu jalan pintas pun ditempuh dengan meminta uang pada rakyat jajahan dalam bentuk pajak dan banyak sekali macam pungutan.
Sesuai dengan syarat-syarat perjanjian yang ditanda-tangani Raffles dengan pihak istana, sebagai buah kesuksesan operasi militer Inggris terhadap keraton Yogyakarta ialah semua gerbang tol dan pasar-pasar di seluruh wilayah kasultanan diambil alih oleh pemerintahan Eropa Inggris. Pemerintahan Inggris lalu eksklusif menyewakan seluruh aset yang diambil alih tersebut pada orang-orang Cina.
Saat pemerintahan kolonial Belanda berhasil dipulihkan pada tahun 1816, Belanda menghadapi hutang-hutang raksasa dan pemasukan yang tidak memadai dari pengaturan penyewaan tanah yang dilimpahkan Raffles. Belanda lalu memanfaatkan gerbang tol sebagai sumber pemasukan untuk menutupi kekurangan pajak pemerintah.
Pada masa pasca perang Jawa masih terdapat 34 jenis pajak yang dipungut dari rakyat yang rata-rata miskin. Beberapa pungutan pajak terlihat ajaib dan tidak masuk logika antara lain pagendel, pajak untuk penggunaan gubuk di sawah, paniti, pajak untuk sawah, paletre, pajak kepada bupati, pajak make-up ronggeng, pakeplop, pajak untuk pertunjukan tari dan sebagainya.
Pajak yang semakin tinggi menciptakan rakyat semakin miskin dan menderita. Apalagi ditambah dengan musibah gunung meletus dan wabah penyakit kolera yang semakin memperburuk keadaan. Pemerintah lokal dan penjajah Belanda yang mengontrolnya tidak peka dengan penderitaan rakyat, tetapi justru menaikkan pajak dan banyak sekali jenis bea (pajak) bagi barang-barang dagangan di gerbang-gerbang tol.
Tidak hanya masyarakat kecil yang menderita, para bupati dan banyak kalangan darah biru istana juga menderita alasannya ialah pencaplokan-pencaplokan tanah oleh penjajah Eropa yang semena-mena. Semakin usang semakin banyak tanah yang dikuasai oleh penjajah dengan perjanjian-perjanjian yang dipaksakan. Sehingga sumber pendapatan pendapatan mereka berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Kondisi ini diperparah dengan penetrasi budaya Eropa yang begitu masif. Kebiasaan seks bebas, minum-minuman keras serta candu ditularkan dan masuk ke dalam istana dan pedesaan Jawa. Budaya Eropa ini sengaja dimasyarakatkan oleh penjajah Eropa yang salah satu tujuannya ialah motif ekonomi. Dengan melegalkan candu contohnya, pemerintah penjajah menerima laba besar dari perdagangan candu yang dikelola oleh para bandar Cina. Keadaan itu menciptakan masyarakat muak, bosan, marah, kecewa dan sedih bercampur aduk menjadi satu terhadap pemerintah lokal dan penjajah Eropa. Mereka merindukan perubahan, ratu adil yang membawa keadilan dan menghancurkan kesewenangan.
Di tengah kondisi ekonomi yang sangat sulit dan masyarakat yang rusak menyerupai itulah muncul Diponegoro yang mendeklarasikan jihad (prang sabil). Perlawanan total terhadap penjajah kafir dan pada penguasa lokal Mataram Yogyakarta yang tunduk pada penjajah Eropa. Diponegoro ingin menghancurkan negara Mataram yang sudah kacau dan ternoda oleh ulah para penjajah dan menggantinya dengan balad (negara) Islam Tanah Jawa yang higienis tidak ternoda dan merdeka dari segala tekanan penjajah.